Selama 70 tahun setelah pembagian Korea, seni lukis kedua Korea berkembang ke arah berlawanan berdasarkan lingkungan ideologis, sosial, dan politik. Pelukis di kedua Korea telah melakukan ingatan selektif atas perang Korea (1950-1953). Sudut pandang dan gaya mereka dalam menceritakan kematian dan konflik yang menghancurkan keduanya sangat berbeda.
Kejatuhan Seoul yang cepat pada minggu pertama Perang Korea membalikkan kehidupan para pelukis. Mereka yang gagal melarikan diri sebelumnya diberikan pilihan kejam: mereka bisa menerima jatah makanan jika mereka melukis potret raksasa pemimpin Soviet, Joseph Stalin atau pendiri rezim Korea Utara, Kim Il-sung di bawah instruksi Aliansi Seni Korea yang pro-komunis.
Tiga bulan kemudian, ketika Pasukan Sekutu dan pasukan Korea Selatan merebut kembali Seoul, para pelukis ini menghadapi hukuman karena berkolaborasi dengan musuh. Banyak pelukis termasuk Ki Ung dan Kim Man-hyong yang berperan aktif dalam kegiatan pro-komunis melarikan diri bersama pasukan Korea Utara yang mundur. Akan tetapi mereka tidak sendirian dalam melarikan diri dari ancaman pembalasan; mereka bergabung dengan seniman lain yang rela pergi ke Korea Utara sebelum atau selama perang. Jumlahnya sekitar 40 seniman Korea Selatan beralih posisi. Kalau mereka tinggal di Korea Selatan, harapan pendekatan mereka terhadap seni akan sangat berbeda.
“The 38th Parallel” oleh Kim Won. 1953. Cat minyak di atas kanvas. 103 × 139 cm.
Lukisan itu menggambarkan kerumunan pengungsi yang berusaha melewati batas yang memisahkan kedua Korea. Tanah berwarna biru gelap dan langit merah melambangkan keputusasaan dan rasa sakit mereka, sementara sinar terang di bukit di sisi kanan kanvas melambangkan harapan.
Seni Lukis di Korea Selatan
“Jejak Sejarah” oleh Nam Kwan. 1963. Cat minyak dan kolase di atas kanvas dengan efek warna tembaga 97,5 × 130,5 cm. Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer, Gwacheon.
Dalam kilas balik yang melankolis dan emosional pada saat-saat tragis perang, bentuk-bentuk abstrak yang terdiri dari pukulan panjang dan pendek menunjukkan episode menyedihkan dalam latar ketika waktu tampak diam dengan cahaya dan bayangan saling silang.
Sastra Korea memiliki beberapa karya besar yang berhubungan dengan perang. Namun hal yang sama tidak terjadi di bidang seni rupa. Sejumlah kecil pelukis berusaha untuk secara realistis menggambarkan kenyataan brutal dari konflik tersebut. “Pertempuran Gunung Dosol” (1951) adalah salah satu pengecualian. Yu Byong-hui, seorang anggota pasukan sinyal di bawah Kementerian Pertahanan Korea Selatan menghasilkan karya itu pada tahun 1951 tak lama setelah bentrokan berdarah yang terjadi di Pegunungan Taebaek yang terjal, salah satu dari lima pertempuran besar yang diperangi oleh Korps Marinir Republik Korea. Bendera nasional Korea Selatan alias Taegeukgi berkibar tinggi di tengah kanvas, sementara bendera Korea Utara terjatuh di tanah, basah dengan darah. Sekitar 2.260 tentara Korea Utara dan 700 tentara Korea Selatan tewas dalam pertempuran kejam itu.
Kim Seong-hwan (1932-2019), seorang komikus kritik sosial dan politik mendokumentasikan Perang Korea secara teliti. Ketika perang meletus, Kim masih siswa SMA dan telah menggambarkan komik berjudul “Mengtengguri (Si Bodoh)” di harian Yonhapsinmun. Setelah Seoul jatuh, dia bersembunyi di loteng rumahnya agar tidak masuk ke tentara Korea Utara. Pelukis remaja itu menghasilkan sekitar 110 sketsa cat air yang benar-benar hidup berdasarkan apa yang disaksikannya. Di antara karyanya ada lukisan yang menggambarkan tentara Korea Selatan menangkap tank T-34 buatan Soviet yang tangguh dan mayat tentara Korea Utara berserakan di sekitarnya.
Sebaliknya, sebagian besar pelukis di Korea Selatan lebih berfokus pada kehidupan pengungsi yang serba sulit dan keadaan pengungsian yang kacau balau. Adegan pertempuran jarang dilukiskan. Hal ini karena pelukis sendiri mau tak mau mengalami kengerian perang setiap hari.
Kim Won (1912-1994) yang meninggalkan Pyongyang untuk menetap di Seoul sebelum perang dimulai menangkap kerumunan pengungsi yang berusaha melintasi garis yang memisahkan kedua Korea dalam “Paralel ke-38” (1953). Beberapa orang di depan meratap dengan memeluk orang yang sudah mati atau berjuang untuk naik bukit sambil menggendong atau memeluk anak-anaknya. Warna biru gelap di tanah dan merah di langit mengekspresikan keputusasaan dan kesengsaraan mereka sedangkan sinar terang di atas bukit di sisi kanan kanvas melambangkan harapan.
“Kemenangan” (detail) oleh Lee Quede. 1958. Sebuah mural di Menara Persahabatan Sino-Korea. Lukisan cat minyak. 200 × 700 cm. Pyongyang.
Mural besar ini menampilkan beberapa adegan pertempuran di tengahnya, dengan pejalan kaki Amerika di sisi kanan dan pasukan Tiongkok yang menang di bagian atas.
“Masyarakat Kosong, Mendukung Garis Depan” oleh Chung Chong-yuo. 1958/1961 (sentuhan ulang). Chosonhwa. 154 × 520 cm. Galeri Seni Korea, Pyongyang.
Lukisan itu menggambarkan warga sipil di Kosong, Provinsi Kangwon, menerjang badai salju untuk membawa amunisi dan makanan ke garis depan.
Lukisan di Korea Utara yang menyebut Perang Korea sebagai “Perang Pembebasan Tanah Air” jauh berbeda dengan lukisan di Korea Selatan. Dalam karya seni lukis Korea Utara, rakyat heroik yang membantu pasukan Korea Utara lebih sering digambarkan daripada adegan pertempuran.
“Perempuan di Desa Sungai Nam” oleh Kim Ui-gwan. 1966. Chosonhwa. 121 × 264 cm. Galeri Seni Korea, Pyongyang.
Lukisan itu menggambarkan wanita gagah di sebuah desa di tepi sungai di Kosong ketika mereka melindungi tentara, kawanan ternak dan senjata api.
Abstrak Versus Realisme
Pelukis Korea Selatan tidak menyimpan ingatan yang mengerikan tentang perang walaupun kemiripan stabilitas mulai kembali. Sebaliknya, lukisan mereka menjadi lebih metaforis atau abstrak. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, realisme sosialis yang berlaku di Soviet dan Korea Utara dianggap dikotori politik dan menghasut masyarakat. Pada saat itu realisme diabaikan dan abstrak menjadi populer di Amerika dan Eropa. Lukisan realisme dianggap berorientasi politik atau condong ke sayap kiri. Ada juga yang tidak menilai lukisan realisme sebagai seni. Setelah Perang Korea, pelukis Korea Selatan juga berusaha mengungkapkan kemarahan, kesakitan, kehampaan, dan kehilangan anggota keluarga mereka secara abstrak. Misalnya, Nam Kwan (1913-1990) sering melihat orang yang meninggal selama pengungsian sehingga tidak pernah lupa pemandangan mengerikan seperti itu sepanjang hidupnya. Dia menghidupkan kembali adegan-adegan itu dalam “Jejak Sejarah” (1963), sebuah kilas balik melankolis dan emosional terhadap momen tragis. Figur manusia, simbol dan piktogram diletakkan di atas kanvas seolah-olah mengambang di sana sini. Bentuk-bentuk abstak yang terdiri dari garis panjang dan pendek menunjukkan episode menyedihkan dengan latar belakang di mana waktu telah berhenti dan cahaya serta bayangan saling bersilangan.
Seni Lukis di Korea Utara
Lukisan di Korea Utara yang menyebut Perang Korea sebagai “Perang Pembebasan Tanah Air” jauh berbeda dengan lukisan di Korea Selatan. Oleh karena Korea Utara memilih realisme sosial untuk aliran seni lukis. Universitas Seni Pyongyang mengajarkan seni Rusia sebagai kursus wajib dan pelukis belajar bagaimana menggambarkan orang yang heroik secara dramatis. Di antara mantan pelukis Korea Selatan yang membelot ke Korea Utara, pelukis yang sering menggambarkan adegan perang Korea adalah Lee Quede (1913-1965). Lee telah menarik perhatian publik ketika berada di Korea Selatan karena lukisan kerumunannya yang menakjubkan. Lukisan perang khasnya, “Kemenangan” (1958) adalah mural yang digambar di dalam Menara Persahabatan Sino-Korea di Distrik Moranbong, Pyongyang. Menara tersebut didirikan untuk mengucapkan terima kasih kepada Tingkok atas bantuannya selama perang dan mempromosikan hubungan bilateral antara kedua negara. Di tengah mural ditemukan beberapa adegan pertempuran termasuk Pertempuran Sanggamryong ketika pasukan Tiongkok menaklukkan pasukan Amerika Serikat dan Korea Selatan. Di bagian kanan dilukiskan pasukan Amerika Serikat yang tercerai-berai dan di bagian atas ditampilkan pasukan Tiongkok yang menang.
Dalam karya seni lukis Korea Utara, rakyat heroik yang membantu pasukan Korea Utara lebih sering digambarkan daripada adegan pertempuran. Pelukis yang membelot ke Korea Utara, Chung Chong-you (1914-1984) memenangkan medali emas di sebuah pameran seni nasional untuk “Warga Goseong, Mendukung Garis Depan” (1961) yang menampilkan warga sipil di Goseong, Provinsi Gangwon dengan berani mengantarkan amunisi dan makanan ke garis depan di tengah badai salju. Sosok manusia dan hewan yang bergerak dari kanan ke kiri digambarkan secara ritmik dan kesan ruang ditimbulkan secara efektif melalui sapuan kuas yang tersirat, gradasi tinta bertingkat, dan penempatan perspektif.
Perlu dicatat bahwa sampai tahun 1950-an pelukis cat minyak lebih banyak daripada pelukis tinta bak di Korea Utara. Namun memasuki 1960-an para pelukis didorong agar menggambar apa yang disebut Chosonhwa (makna secara harfiah adalah lukisan Korea). Hal ini disebabkan karena pemimpin tertinggi Kim Il-sung menekankan bahwa Chosonhwa yang menggunakan kuas dan tinta bak tradisional lebih etnik daripada lukisan cat minyak dari Barat maka kita harus mengembangkan Chosunhwa secara mandiri. Selain itu dia menyebutkan bahwa penting sekali menggambarkan perjuangan rakyat secara hidup, jelas, sederhana, indah, dan tangguh dengan menggunakan warna karena kelemahan Chosonhwa adalah warna.
Kim yang menegaskan Chosonhwa dilukis dengan cat memuji “Perempuan di Desa Sungai Nam” (1966) oleh Kim Ui-gwan (1939-) dan “Kakek di Sungai Nakdong” (1966) oleh Ri Chang (1942-). “Wanita-wanita di Desa Sungai Nam” melukiskan wanita-wanita gagah yang bersenjata api berjuang secara heroik dengan menghalau sapi dan menyembunyikan pasukan Korea Utara di dalam ikatan padi di desa Nam River, Kabupaten Goseong, Provinsi Gangwon. Lukisan ini mendapat penghargaan tertinggi di pameran seni nasional.
Hal yang menarik adalah Korea Utara tidak memiliki banyak lukisan yang menggambarkan Perang Korea. Malahan sejumlah besar lukisan menggambarkan perjuangan anti-Jepang Kim Il-sung. Hal ini mungkin disebabkan karena pendewaan terhadap Kim Il-sung melalui perjuangan anti-Jepang menjadi ma-salah yang akut sedangkan perang pembebasan tanah air menjadi perang yang gagal.
Kim YoungnaSejarawan Seni, Profesor Emeritus Universitas Nasional Seoul