Dua film karya sutradara Bong Joon-ho berjudul Snowpiercer (2013) dan Parasite (2019) memiliki kesamaan. Keduanya mencerminkan konflik antara kelas penguasa dengan kelas yang dikuasai, serta kaum borjuis dengan kaum proletar. Ruang horizontal digambarkan melalui kereta dan ruang vertikal melalui tangga. Namun, kedua film melampaui batas pengaturan latar seperti itu dan berhasil melemparkan pesan yang bergema dalam kepala para penonton.
Industri perfilman Korea memiliki banyak karya orisinal dan kreatif, namun tidak sedikit pula yang dimulai dan diakhiri dengan penataan latar. Saya menyebut film seperti ini dengan sebutan ‘Film Konsep’. Dunia perfilman Korea dibanjiri dengan karya-karya seperti ini di awal tahun 2000-an dan salah satu genre yang terkenal adalah ‘Komedi Gangster’. Film-film berlatar seperti ketua gang preman yang harus menjalani kehidupan SMA lagi atau penyidik wanita yang ternyata menikahi keluarga mafia. Karya-karya seperti itu meraup sukses besar, membuat karya-karya serupa terus bermunculan selama beberapa tahun.
Memasuki tahun 2010-an, karya-karya seperti itu mulai menghilang, tapi percobaan untuk menarik minat penonton hanya dengan menggunakan latar masih terus dilakukan. Tentu saja itu hal itu dilakukan untuk membangkitkan rasa penasaran penonton, tapi masalahnya adalah banyak film yang terjebak dalam kemonotonan yang sudah dirasakan penonton melalui alur cerita yang mudah ditebak dan akhir cerita yang klise. Sulit untuk memperluas wawasan dengan menonton film-film seperti ini walau digunakan untuk mengisi waktu senggang.
Sutradara Bong Joong-ho datang dengan karya yang berbeda dari mereka. Dia selalu membangkitkan rasa penasaran penonton melalui latar yang menarik, sekaligus melampui latar yang sudah diatur tersebut untuk membuka pintu ke genre film baru. Ini merupakan posisi istimewa yang dia tempati di dunia perfilman Korea.
Sutradara Bong Joon-ho memegang piala Oscar di Academy Awards ke-92 pada 9 Februari 2020. Untuk komedi hitamnya yang pedas, “Parasite,” Bong meraih empat Oscar pada hari itu, termasuk gambar terbaik (yang pertama untuk yang bukan Film Inggris), sutradara terbaik, film berbahasa asing, dan skenario asli, menulis ulang sejarah Academy Awards sebaik film Korea. Ini terjadi setelah memperoleh Palme d’Or di Festival Film Cannes ke-72 tahun lalu. © gettyimages
Penyutradaraan yang Melampaui Latar
Setelah Festival Film Internasional Cannes di tahun lalu, tahun ini Parasite berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi di Academy Awards di Amerika, sehingga membuat ketertarikan akan ruang vertikal yang merupakan latar film ini menjadi semakin tinggi. Ruang horizontal di Snowpiercer yang digambarkan dengan kereta juga kembali menjadi pembicaraan. Dalam Snowpiercer, kelas miskin di bagian ekor kereta beraksis horizontal mencoba maju ke gerbong depan. Dalam Parasite, keluarga miskin yang tinggal di ruang semi-bawah tanah mondar-mandir naik dan turun ke lantai atas menggunakan tangga. Jika kita hanya melihat latar yang seperti ini, maka mudah untuk memahami kemiripan konsep ruang di kedua film, yakni gerbong belakang yang berarti kelas miskin dan gerbong depan yang berarti kelas penguasa di Snowpiercer, serta ruang bawah tanah yang berarti kemiskinan dan lantai atas yang berarti kemakmuran di Parasite.
Dunia Snowpiercer adalah planet bumi yang membeku di zaman es baru. Satu-satunya manusia yang selamat hidup di atas kereta yang mengelilingi dunia yang tertutup salju tanpa henti. Para penumpang dipisahkan berdasarkan status sosial; ketika film berlanjut, orang-orang di belakang, yang terus-menerus menderita karena perlakuan tidak manusiawi, memberontak dan berjuang maju ke depan ke bagian depan kelas satu, gerbomg demi gerbong. Jika hanya dilihat apa adanya, maka film ini tidak ada bedanya dengan ‘Film Konsep’ lainnya. Namun, Bong mengkhianati latarnya sendiri dan memutar kemudi ke ‘samping’. Saat kelompok Curtis (Chris Evans) terus maju membuka satu per satu pintu gerbong bagian depan, terungkap bahwa tujuan teknisi bernama Namgoong Min-soo (Song Kang-ho) yang membukakan pintu-pintu tersebut adalah pintu di sisi samping. Untuk memahami maknanya, Anda perlu memasuki ‘latar di dalam latar’ milik Sutradara Bong.
Pada awal “Parasite,” Kim Ki-taek mengintip dari sebuah apartemen semi-basement yang ditempati keluarganya. Rumah-rumah yang berdiri terpisah pada 1980-an diharuskan memiliki semi-basement jika perang meletus. Pemerintah akhirnya mengizinkan semi-basement untuk disewa, yang menjadi pilihan terjangkau untuk rumah tangga berpenghasilan rendah. © CJ ENM
Rumah keluarga Park di “Parasite” menegaskan jurang ekonomi yang luas di Korea. Sebuah survei tahun 2019 mengatakan bahwa pendapatan rumah tangga bulanan rata-rata batas bawah dan atas adalah sekitar 1,3 juta won dan 9,5 juta won. © CJ ENM
Kim Ki-woo dan saudara perempuan Ki-jung mencoba mencari sinyal WiFi gratis dari kamar mandi di apartemen semi-basement mereka. Toilet di rumah semi-basement biasanya dibangun di lantai yang lebih tinggi. Jika lebih rendah dari septic tank bawah tanah, air limbah dapat merembes. © CJ ENM
Perubahan Dunia Luar
Kereta menyimbolkan era modern. Seiring dengan meningkatnya jumlah produksi tekstil -- setelah ditemukannya mesin uap yang kemudian memicu perkembangan alat transportasi massal -- semakin banyak pula masyarakat yang berkumpul di kota. Umat manusia bekerja ketika matahari terbit dan beristirahat ketika matahari terbenam, sehingga komitmen pada waktu yang menguasai kebanyakan dari mereka menjadi dibutuhkan. Pabrik harus menentukan jam masuk dan pulang kerja, serta jam pergantian karyawan, serta kereta harus tiba di waktu yang sudah dijanjikan. Satu buah mesin bisa mengerjakan pekerjaan 100 orang, sehingga nilainya pun semakin diagungkan, sementara manusia harus mengelap mesin dan menggantikan minyaknya. Seperti mesin dan kelas penguasa dalam Snowpiercer yang setiap komponennya harus berada di tempat semestinya agar semua bisa berjalan lancar, umat manusia di abad ke-20 menyembah mesin. Inilah yang membuat segelintir kaum elit pemilik mesin dapat menguasai dunia.
Seperti yang sudah dikisahkan di Masa Modern (1936) karya Charlie Chaplin, mayoritas pekerja menjelma menjadi komponen mesin raksasa. Dalam Snowpiercer, perbedaan kelas ditunjukkan melalui ditaruhnya anak-anak kecil ke dalam mesin untuk menggantikan komponen yang rusak. “Diam,” ujar Mason (Tilda Swinton) dari kelas penguasa kepada kelas terjajah yang memberontak. Selain itu, penguasa kereta Wilford (Ed Harris) juga bertemu Curtis dan menekankan, “Semua sudah memiliki posisi masing-masing.”
Selain mesin kereta, kelas penguasa juga secara berkala melakukan pengendalian penduduk untuk menekan jumlah manusia dan hewan di dalam kereta. Ini merupakan cara berpikir tidak berkeprimanusiaan di era modern yang dikuasai mesin dan modal produksi. Kemudian, dunia mulai berubah memasuki akhir abad ke-20. Sistem perang dingin runtuh dan era ideologi lenyap dalam sejarah. Bersamaan dengan revolusi teknologi informasi, data-data tak kasat mata berpindah tanpa batasan ruang, begitu pula dengan uang dan otoritas yang mengikuti di belakangnya. Modal finansial dan kekuatan digital mulai menguasai dunia. Era mesin berubah menjadi era informasi yang dikuasai internet. Sekarang lawan kaum terjajah pun seakan bersembunyi di ruang khayalan yang tak terlihat mata. Saat kelas miskin terus bertarung dengan gaya abad 20-an di dalam kereta, dunia luar telah berubah.
Adegan yang menyimbolkan hal ini amat memukau. Berbeda dengan Curtis yang hanya melihat pintu depan, Namgoong Min-soo yang sering melirik ke jendela samping melihat kepingan-kepingan salju yang beterbangan. Arah kepingan salju kecil terus berubah akibat berbagai pengaruh dari lingkungan, seperti suhu dan kelembaban udara, serta aliran udara dan bahkan pernapasan organisme yang ada. Gerakannya berbeda dengan latar awal film yang terus maju ke depan. Ini seperti sinyal digital yang melenceng dari era modern tempat ‘semuanya memiliki posisi masing-masing’. Pertanyaan dilontarkan ke latar film yang terus maju ke
depan secara horizontal dan telah dilampaui untuk bergerak ke samping. Singkatnya, ini merupakan ajakan sutradara Bong untuk melihat perubahan dunia luar.
Film Bong Joon-ho dipenuhi dengan pertanyaan dan ajakan yang memerlukan lebih dari satu jawaban tepat. Karenanya, jika Anda ingin menikmati dengan sungguh-sungguh karyanya, Anda harus berhati-hati agar tidak kewalahan dengan latar yang disajikan di depan mata.
Film Bong Joon-ho “Snowpiercer” (2013) didasarkan pada novel grafis Prancis oleh Jacques Lob dan Jean-Marc Rochette dengan judul yang sama. Dalam film thriller sci-fi pasca-apokaliptik, satu-satunya manusia yang bertahan hidup di zaman es baru berada di kereta yang tak henti-hentinya mengelilingi dunia beku. © CJ ENM
Kekuatan Tak Kasat Mata
Ruang vertikal di Parasite juga bukan hanya sekadar latar. ‘Tangga’ dalam film hanya sebuah umpan yang dilemparkan sutradara untuk mengajak penonton benar-benar melihat posisi kita di dunia yang berubah cepat, serta kebiasaan genre Hollywood di masa sebelumnya dan cara berpikir di era ideologi. Setelah membaca kalimat dalam iklan sederhana berbunyi ‘ulah keluarga miskin yang bekerja di rumah keluarga kaya’, wajar jika penonton memperkirakan akan adanya pertikaian antara orang kaya dengan orang miskin. Namun, ketika film sudah setengah jalan, yang menjadi fokus justru perseteruan antara keluarga miskin dengan keluarga yang lebih miskin. Keluarga kaya di dalam film tidak tahu apa-apa. Bahkan, media dan polisi pun tidak berhasil memecahkan kondisi sesungguhnya. Ketika kelas penguasa sosial tenggelam pada peran mereka sendiri akibat ‘ketulusan yang tak memerlukan pikir panjang mereka’, ketika dunia menjadi ‘perang antar segala melawan semuanya’ seperti yang pernah diungkapkan filsuf Thomas Hobbe. Begitu juga, ketika film terus memperlihatkan masalah akan lapangan pekerjaan, penonton dibuat untuk memikirkan perselisihan tak diinginkan antara pekerja permanen dengan honorer, orang yang dipecat dengan yang tuan melakukan pemecatan, dan pebisnis usaha kecil dengan siswa pekerja paruh waktu.
Seperti tokoh-tokoh kelas miskin Snowpiercer yang di satu titik harus berputar arah setelah sebelumnya hanya berlari ke depan, keluarga miskin di Parasite yang terus mengarah ke atas juga akhirnya terjatuh ke bawah sebelum menyadari ada sesuatu yang salah. Keluarga Ki-taek bertemu dan berselisih dengan keluarga bernasib lebih tragis dari mereka. Putra keluarga Ki-taek bernama Ki-woo yang kabur dari perselisihan tiba-tiba menghentikan langkahnya saat menuruni tangga di hujan lebat. ‘Kenapa aku harus bertengkar dengan orang-orang yang lebih di bawahku?’
Tangga-tangga di dalam film akhirnya melemparkan pertanyaan mengenai kekuatan tak kasat mata dalam kehidupan sosial kita yang memicu pertikaian antar orang-orang lemah. Kekuatan itu mirip dengan mesin kenyataan buatan perusahaan TI global yang dimiliki Presdir Park yang kaya, yakni dapat ditemukan di mana pun di ruang siber, tapi sulit dipahami karena tidak terlihat. Hal ini pula yang membuat Parasite yang mencerminkan abad ke-21 seakan lebih gelap dibandingkan dengan Snowpiercer yang mencerminkan abad ke-20.
Krisis kapitalisme global, perubahan persepsi drastis akan lapangan pekerjaan, serta pengembangan alam yang merusak ekologi dan kemunculan monster akibat perusakan tersebut adalah hal-hal yang terus disorot oleh Bong Joon-ho. Walau dunia telah terhubung menjadi satu berkat internet, lembaga pengambil keputusan di setiap negara tidak mampu menghadapi dengan tepat masalah-masalah seperti ini yang tengah dihadapi umat manusia. Film-film Bong Joon-ho merupakan pertanyaan mutakhir mengenai dunia nyata, sekaligus alasan untuk terus menyambung kecemasan yang berlandaskan rasa kemanusiaan.
Orang miskin di atas kapal “Snowpiercer” mengepung pemimpin spiritual Gilliam (John Hurt), yang menginginkan pemimpin pemberontak Curtis (Chris Evans) menggantikannya. © CJ ENM
Gaya hidup mewah para elit di depan kereta dibangun atas pengorbanan para penumpang miskin yang berdesakan di belakang. © CJ ENM