Busan is known as the “City of Film” — but not simply because it plays host to the Busan International Film Festival (BIFF). The city has built a robust cinema infrastructure that includes numerous film-related facilities and organizations.
Festival Film Internasional Busan ke-24 dibuka pada 3 Oktober 2019 di Pusat Film Busan. Tempat eksklusif festival dan inti dari infrastruktur fi lm Busan yang luar biasa, pusatnya adalah kompleks dari dua bangunan empat lantai dan bangunan sembilan lantai. Itu selesai pada tahun 2011. © NewsBank
Pada bulan September 2017, terbit sebuah buku bermakna mengenai Busan. Buku itu adalah buku humaniora ketiga berjudul “Infrastruktur dan Festival Budaya Busan” yang disusun oleh Institut Nasional Ilmu Humaniora dan Sosial Universitas Nasional Puk-yong. Buku ini berisikan penelitian dan saran mengenai puisi, novel, drama, film, dan seni Busan. Saya mendapat tema bagian film dan turut menulis dalam buku tersebut dengan judul “Infrastruktur Film Busan dan Festival Film Internasional Busan”.
Ketika itu saya bertanya kepada diri saya sendiri. Apakah Busan bisa berubah dari “lahan budaya yang tandus” menjadi “kota pusat budaya” seperti apa yang diharapkan dalam kata pengantar buku ini? Jawaban saya akan pertanyaan ini penuh dengan keragu-raguan. Hingga saat itu saya masih berpendapat bahwa perubahan drastis itu adalah sebuah “misi mustahil”. Akan tetapi, sambil menyiapkan tulisan itu, mendadak pikiran saya berubah. Setidaknya begitulah dalam bidang perfilman.
Artikel saya sekarang ini merupakan hasil perkembangan dari tulisan yang saya sebut tadi. Seperti yang saya akui tadi, sebelum menulis untuk buku humaniora tersebut, saya tidak pernah mempertimbangkan infrastruktur perfilman Busan secara serius. Ungkapan “Film Busan” terdengar seolah-olah itu merujuk hanya ke Festival Film Internasional. Tetapi saya menyadari bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman: kota ini menawarkan lebih banyak fasilitas dan institusi publik terkait film. Contoh langsungnya adalah pemindahan instansi perfilman seperti Komisi Film Korea dan Komite Pemeringkatan Media Korea dari Seoul ke Busan pada tahun 2013. Meskipun ruang lingkup aktivitas instansi-instansi ini melampaui Busan dan mencakup seluruh Korea, namun fakta bahwa mereka adalah inti infrastuktur perfilman Busan tidaklah berubah. Tentu saja berkat kedua badan tersebut nilai perfilman Busan menjadi setingkat lebih tinggi.
Namun, jika ada yang bersikeras mengenai lokalitas dan faktor ruang dan tempat Busan, maka kita dapat memberikan contoh lain selain dua instansi di atas. Badan-badan itu adalah Cinematheque Busan dan Pusat Sinema Busan yang bergerak dengan BIFF sebagai pusatnya, Komisi Film Busan, Penghargaan Asosiasi Kritikus Film Busan, dan lain-lain. Semuanya adalah aset berharga perfilman yang layak mendapatkan sebutan “Nomor 1 di Korea” atau yang setara dengannya.
Penggemar film menonton pemutaran Festival Film Internasional Busan ke-24 di BIFF Square, tempat terbuka di pusat kota tua Nampo-dong. Alun-alun ini menjadi tuan rumah acara-acara utama festival sampai 2003 ketika tempat utama dipindahkan ke Haeundae. © Kota Metropolitan Busan
Peran Perintise
Cinematheque adalah tempat penyimpanan arsip film dan juga tempat untuk memutar dan menonton arsip simpanan tersebut. Cinematheque Busan dimulai sebagai Cinematheque pertama Korea yang memiliki fasilitas teater di dalam Pusat Kapal Pesiar Teluk Suyeong di Distrik Haeundae pada tahun 1999, dan memulai aktivitas yang sebenarnya sejak bulan Mei 2002. Biasanya film klasik yang sulit ditemui di bioskop-bioskop umum atau film seni berkualitas tinggi dan film independen ditayangkan di sini. Mulai tahun 2007, Cinematheque juga berperan sebagai penyimpan arsip film dan berada di garis depan dalam meningkatkan pengamatan masyarakat umum akan film dengan menyediakan berbagai macam program pendidikan.
Cinematheque Busan kemudian pindah ke Pusat Film Busan yang dibuka pada bulan Oktober 2011 dan membuka aktivitasnya yang kedua hingga sekarang. Pusat Sinema Busan – dengan gedungnya yang terkenal di dunia sebagai hasil rancangan dan desain dari perusahaan arsitektur Austria Coop Himmbelblau – merupakan kontributor pertama yang berperan dalam peluncuran kembali BIFF dan Cinematheque.
Komisi Film Busan juga merupakan salah satu badan yang membentuk inti infrastruktur perfilman Busan. Badan ini adalah komisi khusus film kedua di Asia dan pertama di Korea yang dibentuk pada tahun 1999 oleh Kota Metropolitan Busan dengan tujuan memberikan layanan jasa administrasi praktis untuk pemroduksian film. Ketika BFC terbentuk sebagai respon dari renaisans film Korea di akhir tahun 1990-an, beberapa komisi media saling bersaing terbentuk dalam upaya yang lain. Saat ini terdapat 13 komisi film regional di Korea termasuk Busan.
BFC yang berperan sebagai perintis komisi film di Korea telah mendukung kegiatan syuting sebanyak 1.303 buah film hingga Desember 2018. Selain itu, BFC juga berusaha memperluas industri perfilman melalui Studio Syuting Film Busan dan Cinema House Hotel in Busan yang menyediakan lingkungan pengambilan gambar yang nyaman, Pusat Usaha Media Busan yang membina perusahaan bidang film dan media daerah, Akademi Film Asia Busan yang memberikan pendidikan khusus bidang perfilman, serta melalui Pusat Industri Media yang mendidik dan mengembangkan tenaga kerja kreatif dan menarik perusahaan yang berhubungan dengan film dan media di Busan dan daerah ibu kota.
Ungkapan “Film Busan” terdengar seolah-olah itu merujuk hanya ke Festival Film Internasional Busan (BIFF). Tetapi saya menyadari bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman.
“Transformasi Burung-Perempuan (Mirage).” Ralf Volker Sander. 2012. Baja tahan karat, 10,2 × 4,6 × 2,6 m.Patung di Dureraum Square, Pusat Film Busan dipilih dari banyak pelamar internasional. Dilihat dari depan, patung itu berbentuk seperti perempuan, tetapi dari samping, menyerupai burung camar.© "Eunhoxxi" Naver blog
Mengobarkan Jejak Independen
Jauh sebelum lembaga-lembaga dan prakarsa-prakarsa ini, terbentuklahlah Asosiasi Kritikus Film Korea (KAFC), yang sekarang dikenal sebagai organisasi kritikus film terkemuka di Korea. KAFC didirikan pada September 1950 di Busan, yang saat itu merupakan ibukota sementara Republik Korea. Itu diikuti pada tahun 1958 oleh Asosiasi Kritikus Film Busan (BFCA), kelompok kritikus regional independen pertama di negara itu.
BFCA bertujuan untuk mempromosikan budaya film yang kaya dan bersemangat melalui tinjauan film domestik dan asing, membimbing masyarakat untuk mengembangkan apresiasi yang cerdas dan terlibat dalam penelitian dan kegiatan lainnya.
Asosiasi ini menyelenggarakan Anugerah Film Buil pertama, yang dibuat oleh Busan Ilbo, sebuah surat kabar harian lokal, pada tahun yang sama. Ulasan dan rekomendasi kelompok yang menyeluruh dan objektif terhadap film berkualitas telah berkontribusi pada pengembangan sinema Korea dan secara signifikan meningkatkan apresiasi dan pemahaman publik terhadap film.
Pada tahun 2000, BFCA mulai memberikan penghargaan filmnya sendiri, yang dikenal karena citarasa daerahnya yang kuat dan kecenderungan yang tidak konvensional. Ini dapat ditafsirkan sebagai kecenderungan yang disengaja terhadap karya-karya regional atau non-mainstream, sangat berbeda dengan Penghargaan Pilihan Kritik KAFC yang lebih berorientasi pada formasi.
Sebagai contohnya, dalam Penghargaan Asosiasi Kritikus Film Korea ke-20 pada tahun 2000, film “Permen Pepermin” karya sutradara Lee Chang-dong – yang menceritakan kesengsaraan seseorang berkaitan dengan tragedi sejarah modern Korea dan disusun dengan plot yang unik – meraih tempat pertama. Sementara itu, dalam Penghargaan Asosiasi Kritikus Film Busan yang pertama pada tahun yang sama, anugerah utama diberikan untuk film “Oh, Sujeong!” karya sutradara Hong Sang-soo.
Selain itu, Asosiasi Kritikus Film Korea memberikan “Penghargaan Sutradara” kepada Lee Chang-dong, sementara Asosiasi Kritikus Film Busan memberikan penghargaan tersebut kepada sutradara Bae Chang-ho yang menyutradarai film “Kekasihku” yang belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Kecenderungan ini juga tidak berubah pada tahun lalu. Asosiasi Kritikus Film Korea memilih film “1987: When the Day Comes” buah hasil sutradara Jang Joon-hwan – yaitu cerita tentang masyarakat yang mengharapkan demokrasi politik dengan latar belakang perlawanan di bulan Juni 1987 – sebagai karya terbaik. Sementara itu, Asosiasi Kritikus Film Busan memberikan penghargaan tertingginya kepada dokumentasi “Pembantu Kejahatan” yang menyoroti cerita para korban penggusuran yang mati terbakar saat proses pembangunan kembali daerah Yongin di Seoul pada tahun 2009.
Di samping kedua badan di atas, terdapat banyak organisasi dan kelompok yang membangun infrastruktur perfilman di Busan. Di antaranya adalah “Asosiasi Film Independen Busan” yang secara resmi didirikan pada tahun 1999 beserta “Festival Film Independen Busan” yang diselenggarakan oleh asosiasi tersebut dan menyongsong penyelenggaraannya yang ke-21 tahun ini, “Anugerah Film Buil” yang tidak kalah dari penghargaan film dalam negeri manapun dalam hal penilaian yang adil dan jujur, “Festival Film Pendek Internasional Busan” yang memulai perkembangannya dengan Festival Film Pendek Korea pada tahun 1980 dan kini menyongsong penyelenggaraannya yang ke-36, dan lain-lain. Namun bukan hanya itu saja. “Jalan Film” di Haeundae menyambut penduduk Busan dan pendatang dari dalam dan luar negeri. Di “Texas Street” yang terletak di seberang Stasiun Busan, rumah makan pangsit “Jang Seong Hyang” yang muncul dalam film “Old Boy” karya sutradara Park Chan-wook masih tetap merangsang selera makan para pengunjungnya. Di jalan Daecheong-ro Jung-gu, Museum Film Busan melambai-lambaikan tangannya mengundang para pengunjung. Oleh karena itu, Busan cukup memenuhi syarat untuk disebut sebagai kota film.
Kerumunan pemandu sorak pada penampilan di luar yang diadakan di Pusat Film Busan sebagai bagian dari Festival Film Makanan Busan 2017.
© Pusat Sinema Busan, Ferstival Film Makanan Busan
Siswa Akademi Film Pusat Film Busan belajar tentang produksi video. Akademi ini menawarkan lebih dari 50 kursus setiap tahun bagi para pembuat fi lm yang bercita-cita tinggi. © Pusat Film Busan
Film hit sutradara Yeon Sang-ho 2016 “Kereta ke Busan” direkam di Studio Film Busan. dikelola oleh Komisi Film Busan, lokasi ini memiliki dua studio indoor dengan luas lantai 826m² dan 1.653m². © Next Entertainment World
Busan merupakan rumah bagi banyak lokasi fi lm. Beomildong muncul dalam banyak fi lm populer, termasuk “Teman” karya Kwak Kyung-taek (2001), “Hidup yang Rendah” karya Im Kwon-taek (2004) dan “Ibu” karya Bong Joon-ho (2009). © Moon Jin-woo
Sebuah adegan dari “Gangster Tak Bernama: Kekuasaan Waktu”, sebuah fi lm 2012 yang disutradarai oleh Yoon Jongbin. Pengambilan gambar di galangan kapal Yeongdo milik Industri dan Konstruksi Berat Hanjin © Showbox
Hasil-Hasil Festival Film Internasional Busan
Tahun ini menandai penyelenggaraan ke-24 Festival Film Internasional Busan (BIFF), yang membuahkan hasil yang mengesankan dan wawasan berharga tentang arah masa depan pefilman. Festival ini membuktikan keunggulannya sebagai acara film utama Asia dengan pemutaran 299 film dari 85 negara, di antaranya 118 film perdana dunia (95 film layar lebar, 23 film pendek) dan 27 film perdana internasional (26 film layar lebar, 1 film pendek).
Hasil lain yang patut kita perhatikan adalah bahwa dalam sejarah BIFF, tahun ini untuk pertama kalinya film dari Asia Tengah menjadi film pembuka festival ini. Film itu adalah film “Pencuri Kuda. Jalan Waktu” yang disutradarai bersama oleh Lisa Takeba dari Jepang dan Yerlan Nurmukhambetov dari Kazakhstan yang pernah menerima penghargaan “Aliran Baru” di BIFF ke-20 pada tahun 2015 melalui karyanya berjudul “Pohon Kenari”.
Namun memang benar terdapat kegelisahan yang tidak mengenakkan hati mengenai masa depan festival film yang telah mencapai tingkat internasional ini. Meskipun telah mengindari topan yang diramalkan akan datang dan didukung dengan cuaca cerah selama festival berlangsung, namun jumlah peserta yang datang hanya mencapai 189.116 orang. Padahal ini merupakan festival kedua yang diselenggarakan oleh tim eksekutif yang dirombak ulang tahun lalu. Angka pengunjung tersebut juga berkurang sebanyak 6 ribu orang dibandingkan tahun lalu yang bahkan bertepatan dengan datangnya angin topan. Mungkin hal ini dikarenakan BIFF masih belum bisa terbebas dari efek lanjutan sebagai hasil dari bentrokan politik mengenai penayangan film dokumenter “Diving Bell”. Film dokumenter ini berisi tentang tragedi tenggelamnya kapal Sewol yang berlayar dari Incheon dan tenggelam di laut lepas Jindo sebelum sampai di tempat tujuan. Tragedi ini menewaskan ratusan orang, dan 300-an penumpang di antaranya adalah siswa-siswi SMA yang sedang berlayar untuk wisata studi.
Kita harus mengamati lebih dulu apakah pertanda yang tidak mengenakkan hati ini hanyalah kemunduran sementara atau contoh dari kegelisahan jangka panjang. Namun tidak perlu dikatakan lagi bahwa kita memang harus menyiapkan analisis mengenai penyebab dan rencana pencegahannya.
Sutradara David Michôd (paling kanan), aktor utama Timothée Chalamet (kedua dari kanan) dan anggota kru lainnya dari fi lm “Raja”, fi lm yang banyak dibicarakan di Festival Film Internasional Busan 2019, berfoto dengan penonton bioskop © Festival Film Internasional Busan