Di Seochon, salah satu lingkungan tertua di Seoul, labirin rumah berusia berabad-abad dan warisan artistik yang kaya menopang oasis perkotaan yang menawan dengan ketenangan dan renungan.
Puncak Gunung Inwang memberikan pandangan sepintas tentang Seochon dan Seoul lama. Seochon mengacu pada daerah dari kaki timur gunung ke dinding barat Istana Gyeongbok, di mana pejabat istana berpangkat rendah tinggal selama Dinasti Joseon. Saat ini, area ini wajib dikunjungi karena menyuguhkan perpaduan seni, budaya, makanan, sejarah, nostalgia, dan pemandangan alam.
Lembah Suseong di Ogin-dong, surga indah yang terkenal dengan pepohonan rindang dan suara aliran air yang sejuk, telah lama menjadi favorit para seniman.
Tembok Kota Seoul dibangun pada abad ke-14 tepat setelah berdirinya Dinasti Joseon. Penghalang pertahanan rata-rata berdiri setinggi 5-8 meter dan panjangnya sekitar 18,6 kilometer. Bagian barat terletak di Gunung Inwang dengan Seochon terletak di bawah.
Museum seniman bernama Pak No-soo dibuka pada tahun 2013. Pak tinggal di rumah itu selama 40 tahun dan menyumbangkan sekitar 1.000 karya seni untuk dilestarikan dan dipamerkan.
Pada tahun 1941, Yun Dong-ju, seorang mahasiswa di Yonhee College (pendahulu Universitas Yonsei), tinggal di rumah novelis Kim Song (1909-1988) dan menulis beberapa puisi utamanya, termasuk “Sebuah Malam untuk Menghitung Bintang.” Sebuah plakat menandai di mana rumah itu berada.
Kim Mi-gyeong membawa pena tintanya ke atap rumah dan tempat-tempat tinggi lainnya untuk menggambar pemandangan jalanan Seochon. Setelah 20 tahun berkarir sebagai jurnalis, dia pergi untuk tinggal di New York pada tahun 2005 dan kembali pada tahun 2012 untuk menetap di Seochon, di mana dia sekarang dikenal sebagai “seniman atap”.
Mengintip melalui lorong kuno Seochon, Anda dapat melihat Istana Gyeongbok, kediaman resmi kerajaan Dinasti Joseon (1392-1910), dan Cheong Wa Dae, kantor kepresidenan, di kaki Gunung Bugak. Kedekatan inilah yang menyebabkan Seochon men¬jadi kawasan rumah pejabat dan cendekiawan selama bera¬bad-abad, yang berjalan ke istana.
Sebenarnya, Seochon berarti “desa barat”, mengacu pada arahnya dari istana. Ia dipeluk kaki Gunung Inwang, pernah menjadi benteng pertahanan saat Seoul merupakan kota bertembok. Di tengah pandemi COVID-19, orang-orang yang belajar menikmati pendakian sendirian ke Gunung Inwang suka sekali berdiri di puncak dan kehilang¬an diri disergap pemandangan Seoul yang terbentang di bawah.
Seochon sekarang menjadi salah satu tujuan wisata ter¬besar Seoul, bersama dengan desa hanok Bukchon, yang berarti “desa utara.” Kedua tempat tersebut dipenuhi lorong-lorong menawan yang dijajari rumah-rumah bergaya tradi¬sional, tak sedikit di antaranya yang berusia ratusan tahun. Kini banyak yang menjadi kafe bergaya, kedai kopi butik, dan penginapan. Terdapat satu hanok yang difungsikan kem¬bali yaitu Toko Buku Daeo, toko buku tertua di Seoul, bebe¬rapa menit dari stasiun kereta bawah tanah Istana Gyeong-bok. Lebih penting lagi, area Seochon dan Bukchon memi¬liki suasana seni dan budaya.
Lorong-lorong sempit Seochon memiliki udara hangat dan nyaman bergaya Golden Lanedan di Praha dan nuan¬sa lorong belakang Montmartre di Paris. Selain hanok yang telah diubah, ada galeri tempat pameran lukisan lanskap tinta-dan-cuci dari era Joseon yang sekarang menghiasi kanvas seniman abad ke-21. Ruang pertemuan yang popu¬ler di sini adalah Pasar Tongin, tempat banyak penjaja men¬jual barang dagangan sehari-hari dan tempat makan yang menyajikan segala jenis makanan lezat. Pasar ini terkenal dengan program kotak makan siangnya; Anda dapat menu¬kar satu set koin yang digunakan untuk membeli berbagai macam lauk pauk buatan sendiri dengan murah.
Warga Terhormat
Pameran “Catatan Jalanan,” yang diselenggarakan oleh Korean Safety Health Environment Foundation, diadakan dari 30 April hingga 16 Mei 2021, di Boan 1942, sebuah tempat budaya serbaguna. Ini menampilkan sekitar 80 foto yang menunjukkan cara pandemi COVID telah mengubah masyarakat.
Seochon adalah tempat lahir dan besar banyak pangeran, termasuk Pangeran Chungnyeong, putra ketiga Raja Tae¬jong, yang kemudian menjadi Raja Sejong (berkuasa 1418- 1450), raja Joseon yang paling terkenal. Dia melembaga¬kan aksara Korea dan banyak penelitian ilmiah. Putra keti¬ga Raja Sejong, Pangeran Anpyeong (1418-1453), ting¬gal di Lembah Suseong di Ogin-dong, bagian paling atas dari lingkungan ini dan latar “Perjalanan Impian ke Tanah Bunga Persik”, dilukis oleh An Gyeon pada tahun 1447. Ini lukisan terkenal yang menggambarkan utopia Daois yang terinspirasi oleh mimpi pangeran.
Warga kerajaan Seochon lainnya adalah saudara laki-laki tertua kedua Raja Sejong, Pangeran Hyoryeong (1396- 1486), seorang pria dengan pengetahuan yang hebat dan karakter yang berbudi luhur. Dia melarikan diri dari politik kekuasaan ketika adiknya naik takhta, dan dihormati karena usahanya untuk menghidupkan kembali agama Buddha.
Di lingkungan yang sama, Jeong Seon (1676-1759) melukis “Gunung Inwang Sehabis Hujan” (1751), sebuah mahakarya dari masa kejayaan budaya Joseon, zaman yang disebut lanskap sebagai realis “pemandangan yang benar”. Karya seni terkenal ini, ditunjuk sebagai Harta Nasio-nal Korea No. 216, sampai saat ini merupakan bagian dari koleksi pribadi Lee Kun-hee, mendiang ketua Samsung Group, yang sekarang disumbangkan ke negara setelah kematiannya tahun lalu.
Pada pertengahan periode Joseon, Seochon mulai dihu¬ni oleh jungin, yang secara harfiah berarti “orang tengah”, sebuah kelas pejabat dan teknisi yang lebih rendah yang berada di antara bangsawan dan rakyat jelata. Pekerja tek¬nis yang berkisar dari penerjemah dan dokter hingga kasim yang bertugas di istana membangun rumah mereka di dae¬rah tersebut, yang meliputi Ogin-dong, Hyoja-dong dan Sajik-dong saat ini. Bukchon dulunya adalah lingkungan sastrawan, dan rumah-rumah tua di sana relatif besar dan megah. Sebaliknya, rumah tradisional Seochon berukuran kecil dan sederhana, yang menjelaskan penyebaran banyak lorong kecil yang seperti jaring.
Dengan keruntuhan Joseon pada tahun 1910 dan pen¬dudukan Jepang berikutnya, seniman muda mulai pindah ke Seochon. Tokoh utama termasuk penyair Yi Sang (1910- 1937), Yun Dong-ju (1917-1945) dan Noh Cheon-mye¬ong (1911-1957), serta novelis Yeom Sang-seop (1897- 1963). Tetangga mereka adalah pelukis Gu Bon-ung (1906- 1953), Lee Jung-seop (1916-1956) dan Chun Kyung-ja (1924-2015). Ironisnya, Seochon adalah tempat perkebunan mewah bergaya Barat dari tokoh pro-Jepang terkenal Lee Wan-yong (1858-1926) dan Yun Deok-yeong (1873-1940).
Perjalanan seni dan budaya melintasi waktu, seper¬ti yang dinikmati dan dipahami di masa sekarang, dapat dibandingkan dengan anak ayam yang keluar dari kegelap¬an di cangkangnya dan dilahirkan ke dunia. Seperti bayi burung yang memotong cangkang keras yang mengelilingi-nya untuk hidup, para seniman Korea modern terjun dalam aktivitas kreatif sebagai pelarian dari kemiskinan dan kepu¬tusasaan zaman. Saya berangkat untuk menemukan jejak mereka di Seochon.
Boan Inn, dibangun pada tahun 1940-an, adalah tempat tinggal yang populer bagi banyak seniman dan penulis. Dioperasikan sebagai penginapan hingga tahun 2004, baru-baru ini diubah menjadi Boan 1942, tempat diadakannya pameran, pertunjukan, dan acara lainnya.
Pasar Tongin awalnya didirikan pada tahun 1941 sebagai pasar umum bagi penduduk Jepang di daerah sekitarnya. Pasar berkembang menjadi bentuknya saat ini setelah Perang Korea ketika penduduk Seochon berkembang pesat.
Rumah Sastra Yun Dong-ju
Rumah Yi Sang
Taman Sajik
Istana Gyeongbok
Menapaki Keharuman
Pertama, saya menuju Bukit Penyair di Cheongun-dong untuk melihat Perpustakaan Sastra Cheongun dan Rumah Sastra Yun Dong-ju. Dari bukit, saya bisa melihat pusat kota tua Seoul terbentang di bawah, dan di kejauhan, Mena¬ra Namsan dan Sungai Han, Menara Lotte World 123 lan¬tai mulai terlihat. Perpustakaan Sastra Cheongun di lereng bukit terdiri dari beberapa hanok yang telah dipugar dengan indah, tetapi Rumah Sastra Yun Dong-ju adalah bangun¬an beton dengan pintu besi seperti penjara. Namun, dengan kafe taman luar ruangannya yang indah, ia menempati peringkat tinggi dalam daftar “arsitektur kontemporer terba¬ik Korea” tahun 2013 yang dipilih bersama oleh surat kabar Dong-A Ilbo dan majalah arsitektur, Space.
Di ruang video, kehidupan Yun Dong-ju terungkap di dinding beton - waktu yang dihabiskannya untuk menulis puisi di sebuah rumah kos di Seochon; pemenjaraannya di Fukuoka, Jepang karena berpartisipasi dalam kegiatan anti- Jepang oleh mahasiswa Korea; dan akhirnya kematiannya di sana karena sebab-sebab misterius pada Februari 1945, beberapa bulan sebelum kemerdekaan nasional Korea. Entri jurnalnya berbunyi, “Saya bersembunyi di sebuah ruang¬an kecil yang gelap tidak dapat melakukan apa pun selain menulis puisi, malu karena saya tidak dapat mengangkat senjata dan bertarung. Saya semakin malu karena puisi-pui¬si itu datang kepada saya dengan begitu mudah.”
Meninggalkan labirin lorong, saya menuju Rumah Yi setempat akan melaporkannya sebagai “mata-mata yang membuat peta.” Tapi sekarang, gambarnya bisa dilihat di dinding banyak toko di lingkungan itu.
Memindai Ulang Labirin
Mengakhiri perjalanan saya, saya mampir ke Boan Inn di Tongui-dong, di mana pelukis Lee Jung-seop, penyair Seo Jeong-ju (1915-2000) dan penulis serta seniman lainnya sering menginap. Bangunan aslinya telah dilestarikan dan diubah menjadi tempat pameran dan budaya bernama Boan 1942. Di sinilah Seo dan penyair lainnya membuat majalah coterie, “Kampung Penyair” (Siin Burak), pada tahun 1936. Jejak masa lalu dapat ditemukan di seluruh bangunan. Saya disambut oleh derit tangga kayu dan senang bahwa ruang pameran yang penuh sesak dan sempit mempertahankan pesona lama mereka.
Choi Seong-u, yang mengelola Boan 1942, bermimpi menjadi seorang seniman dan pergi ke Prancis untuk bela¬jar. Dia akhirnya belajar administrasi seni, dan sekembali¬nya, mengubah Boan Inn tua menjadi pusat budaya multi¬guna. Dia memperluas ruang dengan mendirikan gedung di sebelahnya, tidak hanya menampilkan karya seniman muda Korea yang eksperimental tetapi juga secara aktif mengejar proyek internasional. Ia berencana mengundang seniman asing untuk mengikuti pameran khusus di masa mendatang. Di gedung penginapan berlantai empat yang lama, kamar tamu dan ruang kerja untuk para seniman menempati lantai tiga dan empat.
Penduduk Seochon telah berganti-ganti selama bebe¬rapa abad. Tapi benang yang mengikat mereka selalu seni dan budaya, tetap terlihat jelas di lorong-lorong yang berke¬lok-kelok hari ini. Kesenangan terbesar dari wisata lorong adalah bahwa mata Anda terbuka menangkap jalan baru yang asing saat Anda sesekali tersesat. Kadang-kadang, lorong-lorong itu tiba-tiba terhenti di jalan buntu, dan saat Anda berbalik dan melihat ke belakang, Anda mulai memi¬kirkan jejak-jejak kehidupan Anda sendiri. Dalam perjalan¬an ke Seochon kali ini, saya sering melihat ke belakang dan ke belakang.
Kwon Oh-nam telah mengoperasikan Toko Buku Daeo sejak dia membukanya bersama mendiang suaminya pada tahun 1951. Mereka memutuskan untuk menggunakan sebagian dari rumah bergaya tradisional mereka sebagai toko buku. Sekarang toko buku bekas tertua di Seoul. Tempat ini juga berfungsi sebagai kafe buku.
Chebu-dong, tempat kuliner terkenal, menarik orang-orang dari segala usia yang mencari makanan lezat siang dan malam. Restoran-restoran kecil berdesakan bersama membentuk dinding restoran-restoran di labirin lorong.