Jeong Yak-yong memimpikan masa pencerahan Joseon bersama Raja Jeongjo, dengan menerapkan intelektualitas kritis atas kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan bidang lain dan mendorong lahirnya aksi nyata. Tahun ini menandai ulang tahun ke-200 publikasi karya Jeong yang sangat penting “Tata Cara Memerintah Rakyat” (Mongmin simseo) dan kembalinya dari 18 tahun di pengasingan. Meski sudah lebih dari 180 tahun sejak ia meninggal, namanya masih berada di Chocheon, sungai kecil yang mengalir di sepanjang kampung halamannya.
Sungai Han Selatan dan Utara bertemu di Dumulmeori di wilayah Yangpyeong, Provinsi Gyeonggi, dan mengalir ke Sungai Han. Daerah itu kehilangan fungsinya sebagai pusat transportasi untuk orang dan barang, tetapi masih menghasilkan kabut fajar yang mengilhami karyakarya artistik.
Kabut mengganggu pendangan kita, membuatnya kabur. Namun, tidak sepenuhnya terhalang. Mata kita masih bisa menangkap apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi. Keingintahuan estetik muncul ketika ada keseimbangan antara bagian yang transparan dan terbuka dan apa yang tersembunyi. Dumulmeori, dilihat dari Kuil Sujong, selalu menjadi destinasi para penyair dan seniman yang ingin membaca beberapa bait puisinya mengenai keindahan dan kebersihan Sungai Han yang mengalir di bawahnya atau melukis pemandangan yang terhampar di depannya dengan kuas. Sekarang, tempat ini menjadi panorama favorit fotografer amatir.
Kuil Kuno dan Kabut Pagi
Tahun ini menandai peringatan 200 tahun “Kritik tentang Pemerintahan Rakyat” (Mongmin simseo), salah satu karya Jeong Yak-yong yang paling penting. Buku setebal 48 halaman ini sangat diakui karena kritiknya terhadap tirani pejabat pemerintah dan saran tentang bagaimana hakim lokal harus melayani rakyat.
Dumulmeori (secara harfiah berarti “pertemuan dua sungai”) adalah nama yang lazim digunakan untuk tempat bertemunya dua aliran air. Di sini, kata ini mengacu kepada bagian selatan Yangsuri di Propinsi Gyeonggi, tempat bertemunya Sungai Han Utara dan Sungai Han Selatan. Dengan waktu tempuh satu jam dengan mobil dari Seoul, melewati Hanam dan menyeberangi Jembatan Paldang, sampailah kita di tempat sunyi dengan pemandangan sungai dan gunung. Tempat ini menjadi destinasi bagi penduduk ibukota dan pasangan yang sedang berkencan. Jalan mendaki sekitar 300 meter di Gunung Ungil menuju Kuil Sujong diwarnai pemandangan dua Sungai Han di kanan kiri di bawahnya.
Dumulmeori punya pemberhentian feri dengan rute yang menghubungkan Jeongseon di Propinsi Gangwon dan Danyang di Propinsi Chungcheong Utara dengan pelabuhan di Ttukseom atau Mapo di ibukota. Ketika Bendungan Paldang dibangun pada tahun 1972, tempat bersejarah ini kehilangan fungsinya. Bendungan ini menyebabkan sungai menjadi lebar dan arus airnya menjadi lambat, dan lingkungan sekitarnya menjadi seperti lingkungan danau dengan tumbuhnya rumput liar, teratai dan kaltrop air — tanaman air yang tumbuh subur di air yang menggenang. Dengan keadaan ekologis seperti ini, banyak taman dibuat di tepi sungai dengan fasilitas beragam dan dihiasi banyak karya seni rupa, di antaranya Semi Garden dan Dasan Ecological Park, yang ramai di hari-hari kerja.
Ketika Jeong Yak-yong dibebaskan dari 18 tahun pengasingan, dia kembali ke Majae, Provinsi Gyeonggi, dan tinggal di sana selama 18 tahun sampai kematiannya. Dia berharap dapat menghabiskan masa hidupnya dengan memancing di kota kelahirannya.
Ini tentang kabut pagi. Di pagi hari, ketika perbedaan suhu antara air dan daratan besar, kabut naik ke atas permukaan air. Kabut yang naik dari Danau Cheongpyeong, lalu menuju ke atas gunung, dan akhirnya turun di tepi sungai di Dumulmeori menjelang siang ini menciptakan pemandangan yang sangat menakjubkan. Mereka yang beruntung melihat kabut ini akan menghentikan langkahnya, seolah terjebak dalam pemandangan yang langka. Jika Anda melihat matahari terbit di Dumulmeori dari Kuil Sujong, salah satu tempat terbaik menikmati pemandangan Sungai Han, berhentilah di kafe kecil dekat tempat parkir di jalan menurun dan berbincanglah dengan perempuan pemiliknya. Ia akan memperlihatkan kepada Anda beberapa foto pemandangan Dumulmeori yang penuh misteri yang membawanya ke tempat itu.
Ketika Jeong Yak-yong (1762-1836; nama penanya Dasan, artinya “Gunung Teh”) yang berusia 22 tahun lulus ujian pegawai negeri tingkat rendah pada musim semi 1783, ia pergi ke Kuil Sujong bersama sepuluh temannya. Itulah cara merayakan keberhasilan dirinya dan memenuhi keinginan ayahnya untuk pulang bersama teman-temannya dalam keadaan “tidak terlalu berantakan”. Itu terjadi tujuh tahun sejak Jeong meninggalkan rumah dan pergi ke Seoul untuk belajar dan mengikuti ujian negara, setelah menikah pada usia 15 tahun, dan tahun-tahun itulah ayahnya sangat khawatir. Dengan kepulangannya ini, Jeong ingin membangun solidaritas di antara para Namin, atau orang-orang Selatan, kelompok politiknya.
Kuil Sujong, tempat bersejarah berusia lebih dari seribu tahun, terletak di latar alam yang indah, tidak jauh dari kampung halaman Jeong Majae (“Bukit Kuda”). Ketika masih kecil, Jeong sering mengunjungi kuil untuk membaca dan menulis puisi. Dalam kunjungannya setelah lulus ujian, ia minum ketika bulan menampakkan diri dan menulis puisi sebagai ungkapan “kegembiraan datang kembali sebagai orang dewasa ke tempat bermain masa kecil.” Ia mengabadikan momen hari itu dalam buku berjudul “Perjalanan ke Kuil Sujong” (Sujongsa yuramgi).
Duaratus Tahun Bebas dari Pengasingan
Dibandingkan dengan karya-karya kontemporer, karya Jeong Yak-yong digemari di Korea sama seperti Johann Gottlieb Fichte di Jerman atau Voltaire di Perancis. Ia menulis buku dan karya lain, yang merupakan hasil pemikiran kritisnya melampaui jaman itu, yaitu mengenai kamampuan kenegaraan (gyeongse chiyong). Pada tahun 2012, Jeong Yak-yong adalah salah satu sosok besar dalam program “Perayaan Ulang Tahun” UNESCO, bersama dengan Herman Hesse, Claude Debussy dan Jean-Jacques Rousseau. Tahun ini menandai ulang tahun ke-200 publikasi karya Jeong “Tata Cara Memerintah Rakyat” (Mongmin simseo) dan kembalinya dari 18 tahun di pengasingan ke rumahnya di Majae. Dalam bulan April, kota Namyangju (tempat Majae berada) dan Komisi Nasional Korea untuk UNESCO mengadakan simposium internasional di Seoul untuk memperingati peristiwa ini.
Jeong sudah menulis 500-an dan kita mengacu kepada karyanya ketika memikirkan jalan yang kita ambil sekarang. Raja Gojong, yang berjuang melindungi negara dari kekuatan luar di paruh akhir abad ke-19, merujuk kepada buku Jeong setiap kali terpuruk dalam mengejar mimpi reformasi dan otonomi, menyesal karena tidak hidup di jaman Jeong.
Semiwon, sebuah taman ekologi di Yangpyeong, merupakan tempat peristirahatan musim panas yang populer. Terdapat sekitar 270 jenis tanaman, 70 jenis dari mereka berupa tanaman air.
Meski bertujuan mengeksplorasi bagian tepi sungai Han tempat Jeong Yak-yong lahir, tumbuh dan menghabiskan tahun-tahun terakhirnya; dan untuk melacak jejak hidup dan pemikirannya; tulisan ini menggambarkan Jeong sebagai akademisi yang tidak kaku. Jeong membaca “Seribu Tokoh Klasik” di usia empat tahun, menulis puisi di usia tujuh tahun, dan di usia sepuluh tahun sudah menulis buku kumpulan puisi. Di samping kecemerlangannya itu, ada beberapa detail yang membuatnya manusiawi. Misalnya, selain menarik perhatian Raja Jeongjo setelah lulus ujian pegawai negeri tingkat rendah, ia beberapa kali gagal dalam ujian tingkat tinggi sampai usia 28 tahun. Namun, Jeong sendiri tentu tidak ingin dikenang sebagai orang yang berpikiran sempit.
Dibandingkan dengan karya-karya kontemporer, karya Jeong Yak-yong digemari di Korea sama seperti Johann Gottlieb Fichte di Jerman atau Voltaire di Perancis. Jeong sudah menulis 500-an buku, dan kita mengacu kepada karyanya ini ketika memikirkan jalan yang kita ambil sekarang.
Kabur Empat Hari dari Istana
Pemandangan menakjubkan Dumulmeori mulai dari Kuil Sujong di Gunung Ungil menarik banyak penyair dan seniman dari masa lalu. Karena tempat itu tidak jauh dari tempat kelahirannya, Jeong Yak-yong yang sering pergi ke kuil ketika anak-anak untuk membaca dan menulis puisi.
Jeong, yang diangkat oleh Raja Jeongjo, bergabung dengan lembaga riset dan perpustakaan kerajaan bernama Gyujanggak dan kemudian menduduki beberapa posisi penting, mengonsep dan mengeksekusi kebijakan reformasi Jeongjo. Namun, ada dua kelalaian pada pekerjaannya; tampaknya perangai yang nyentrik cocok dengan bakat dan keahliannya. Dalam suatu kesempatan, dengan alasan mengunjungi ayahnya yang bekerja sebagai seorang hakim di Jinju yang terletak jauh dari ibukota, ia membolos. Ini terjadi di tahun keduanya sebagai peneliti yang sedang menjalani pelatihan khusus di lembaga kerajaan. Ketika raja mengetahui hal ini, ia memerintahkan Jeong dibawa ke pengadilan dan dihukum 50 kali cambuk, tapi kemudian segera mengakhiri hukuman itu dan mengampuninya. Ketika menjabat sebagai sekretaris kerajaan yang harus mematuhi perintah raja, Jeong membuat ulah lagi. Dalam tulisannya, ia menjelaskan perbuatan itu.“Saat itu tahun 1797, ketika saya tinggal di kaki Gunung Nam di Seoul.
Melihat bunga delima sedang mekar dalam suasana gerimis, saya pikir itu saat yang tepat memancing di Chocheon. Aturannya adalah pegawai pengadilan hanya boleh meninggalkan ibukota setelah mendapatkan ijin. Karena tidak mungkin mendapatkan ijin liburan, saya pergi begitu saja ke Chocheon. Esok harinya, saya menebar jaring di sungai, mulai memancing dan berhasil menangkap 50 ikan, besar dan kecil. Kapal kecil itu tidak bisa menahan beban tangkapan dan hanya tersisa lima inci di atas permukaan air. Saya pindah ke kapal lain dan berlabuh di Namjaju, lalu kami berpesta ikan.”
Chocheon adalah sungai kecil dikelilingi oleh rumput liar di desa tempat Jeong dibesarkan. Baginya sungai ini adalah simbol rumah dan Namjaju adalah pulau kecil berpasir di bawah Dumulmeori. Namun, petualangan Jeong tidak berhenti di situ. Setelah makan ikan, ia ingin makan sayuran hijau. Ia mengajak teman-temannya dan mereka menyeberangi sungai menuju Cheonjinam di Gwangju. Di tempat ini Jeong dan saudara laki-lakinya mengenal ajaran Katolik dan walaupun kapalnya ditambatkan sangat dekat, rumah yang mereka tuju jauh di gunung sehingga mereka harus berjalan sekitar 10 kilometer.
“Kami berempat pergi ke Cheonjinam bersama saudara-saudara lain. Setelah sampai di gunung, kami melihat tanaman tumbuh subur dan hijau, bunga-bunga bermekaran di semua tempat, dan wanginya menusuk hidung. Semua jenis burung bernyanyi dengan nyaring, suaranya jernih dan merdu. Ketika kami mendengar burung-burung itu bernyanyi, kami berhenti dan melihat sekeliling untuk menikmati semua itu. Kami sampai di kuil dan menghabiskan waktu dengan minum dan membaca puisi, dan tinggal di sana selama empat hari. Saya menulis 20 puisi saat itu, dan kami makan 56 jenis tumbuhan hijau pegunungan termasuk shepherd’s purse yang memiliki buah menyerupai dompet kecil, pakis dan angelica.” (dari “Kumpulan Puisi dan Prosa Dasan” [Dasan simunjip], Vol. 14)
Tidak diketahui apakah ketidakhadirannya bekerja ini dilaporkan kepada raja.
Halaman dalam Yeoyudang, rumah Jeong Yak-yong dilahirkan dan dibesarkan, dan tempat ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Direstorasi ke bentuk aslinya pada 1957, merupakan bagian dari Situs Warisan Dasan. Nama rumah mencerminkan nasihat Laozi untuk menangani semua hal dengan hati-hati dengan rasa takut di hati.
Bagaikan Menyeberangi Sungai di Musim Dingin
Selama periode dinasti Joseon, selain nama formal mereka, banyak orang memakai ho, yang artinya “nama pena,” atau “nama populer,” yang digunakan oleh teman-teman dekat. Pada umumnya, nama pena mencerminkan kepribadian seseorang atau ciri khususnya. Sering kali, rumah juga diberi nama dan kadang-kadang mereka memakai nama rumah mereka menjadi nama pena. Ketika Dasan kembali ke kampung halaman setelah pensiun dari pegawai negeri, ia memberi nama rumahnya Yeoyudang (Rumah Kebimbangan).
“Saya tahu kelemahan saya. Saya punya tekad tapi tidak punya kemampuan menyelesaikan sesuatu. Saya suka melakukan hal-hal baik tapi tidak punya kemampuan menempatkan prioritas dan memilih sesuatu. Jadi, perjalanan saya melahirkan sebuah karya menemui banyak kegagalan. Laozi saya (yaitu Tao Te Ching) mengatakan bahwa untuk menghasilkan karya yang bagus, seseorang harus ‘bimbang, seperti mereka yang menyeberangi sungai yang tertutup es beku’ dan dalam melakukan segala sesuatu, ‘tidak yakin, seperti mereka yang takut akan sekeliling.’ Ini sangat disesalkan. Namun, kedua kalimat ini merupakan jawaban bagi titik lemah saya!”
Menjadi pegawai muda yang dekat dengan raja membuatnya tidak mungkin menghindari punya musuh politik. Penerimaan Jeong atas Seohak, atau Pembelajaran Barat, dan ajaran Katolik berarti bahwa kedekatannya dengan raja tidak bisa membatasinya. Di bulan pertama tahun 1800, Jeong pensiun dan kembali ke kampung halaman, tempatnya mendapatkan perahu kecil untuk memancing dan sebuah kabin. Ia ingin tinggal bersama keluarganya di atas kapal itu, memancing di Chocheon, dan sudah mempersiapkan papan nama untuk kapalnya, menunjukkan betapa ia sangat ingin mewujudkan impiannya ini. Namun, papan nama ini tidak pernah terpakai. Tekanan Gereja Katolik, yang mulai terjadi setelah kematian mendadak Raja Jeongjo pada musim panas tahun itu, mengancam nyawa Jeong Yak-yong dan kakak laki-laki keduanya, Jeong Yak-jeon. Mereka diasingkan ke tempat terpencil. Jeong Yak-jong, kakak ketiganya yang setia pada keyakinan mereka, dibunuh.
Selain “Dasan,” Jeong Yak-yong punya nama pena lain yaitu “Sammi”, yang artinya “tiga alis”. Dari kata ini lahirlah kata “Sammijip,” judul kumpulan puisi masa kecilnya. Sebagai akibat cacar air yang dideritanya ketika masih kecil, ia punya bekas luka di dahi yang membuatnya tampak seolah memiliki tiga alis. Jeong punya sembilan anak, tapi cacar air dan campak merenggut nyawa enam di antaranya.
Jeong meninggalkan dunia menulis, berduka atas kepergian anak-anaknya. Mereka dikebumikan di pemakaman keluarga di gunung belakang kampung halamannya, kecuali anak perempuan tertuanya, yang meninggal di usia empat hari. Karena rasa dukanya ini, Jeong mencari informasi mengenai pengobatan penyakit itu dan menulis dua buku medis, mengenai penanganan campak dan pencegahan cacar air.
Melewatkan Musim Panas di Tepi Sungai Han
Setelah menghabiskan 18 tahun di pengasingan di Gangjin, Jeong Yak-yong tinggal di kampung halamannya selama 18 tahun sebagai kompensasi waktu yang dilewatkannya di pengasingan itu. Di tahun-tahun terakhirnya, ia menyebut dirinya “Yeolsu,” nama lain Sungai Han. Meski dia lahir di tepi sungai dan memimpikan kehidupan damai di pedesaan, kenyataannya tidaklah demikian. Pada tahun 1819, setahun setelah kepulangannya dari pengasingan, ia mengunjungi sawah di Munam (di Seojong-myeon, yang sekarang Wilayah Yangpyeong). Setiap musim gugur ia menghabiskan beberapa hari di sana, merawat tanaman bersama adik laki-lakinya, Yak-jeon, ketika mereka pergi naik kapal ke makam ayahnya di Chungju. “Empatpuluh tahun lalu saya ingin tinggal di sini menggarap tanah,” kenangnya. Yak-jeon meninggal tiga tahun sebelumnya, tidak pernah pulang dari pengasingannya di Pulau Heuksan.
Jeong Yak-yong menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya menyunting dan memeriksa buku yang ditulisnya ketika berada di pengasingan. Ketika itu kemampuannya yang luar biasa dan sifatnya yang tidak lazim tidak hilang sama sekali. Ia menulis 16 puisi mengenai cara mengatasi panas, beberapa di antaranya adalah “Bermain baduk di tikar bambu yang sejuk,” “Mendengarkan serangga di hutan timur,” “Mengayunkan kaki di dalam air di bawah sinar bulan,” “Memotong ranting pohon di depan rumah untuk jalan angin,” “Membersihkan saluran air,” “Menanam pohon anggur,” “Menjemur buku di bawah sinar matahari bersama anak-anak,” dan “Memasak sup ikan pedas dalam panci.” Apakah itu karena ia merasakan panas lebih dari orang lain? Ataukah karena ia gemuk?
Situs Bersejarah Dasan, yang berlokasi di kampung halaman Jeong di Namyangju, adalah sebuah kompleks yang terdiri dari makam, tempat lahir yang sudah dibangun ulang, Ruang Peringatan Dasan, dan Pusat Budaya Dasan. Ratusan buku yang ditulisnya selama di pengasingan dipamerkan di Pusat Budaya Dasan. Derek Korea, yang disebut geojunggi, yang digunakan untuk membangun Benteng Hwaseong di Suwon, dan banyak hal lain yang berhubungan dengan Jeong Yak-yong dipamerkan di Ruang Peringatan Dasan.
Lee Chang-guyPenyair dan Kritikus Sastra
Ahn Hong-beomFotografer